Mungkin saat ini sebagian orang mengetahui bahwa mahar dalam berbentuk hal yang berhubungan dengan duniawi, seperti emas, rumah, uang, dan lainnya.
Namun, ada mahar jenis lainnya yang berhubungan dengan hal-hal baik di akhirat, yaitu keimanan, ilmu, ataupun hafalan Al-Quran.
Sebenarnya pada praktiknya tidak ada batasan khusus tentang besaran mahar dalam pernikahan Islam.
Yuk, ketahui lebih lanjut mengetahui mahar pernikahan dalam Islam pada ulasan artikel berikut ini!
Apa Itu Mahar?
Mahar atau yang biasa disebut mas kawin adalah salah satu syarat sah dalam pernikahan.
Mahar merupakan sejumlah harta yang diberikan oleh mempelai pria ke wanita sebagai bentuk ketulusan untuk terikat dalam hubungan pernikahan.
Nah, dalam memberikan mahar ke mempelai wanita biasanya seringkali membebani karena harus memberikan mahar terbaik untuk calon istrinya.
Namun, pada kenyataannya memberikan mahar bukanlah sesuatu yang sifatnya membebani atau menyusahkan.
Sebagaimana sebuah hadits yang menyatakan bahwa:
“Wanita yang paling besar berkahnya ialah wanita yang paling mudah (murah) maharnya.” (HR. Ahmad, Al-Hakim dan Al-Baihaqi)
Baca juga: Pahami Arti Sakinah Mawaddah Warahmah dalam Pernikahan dan Cara Mewujudkannya
Fungsi Mahar dalam Pernikahan Islam
Berikut ini merupakan fungsi-fungsi mahar dalam pernikahan Islam:
1. Sebagai Pembeda Antara Pernikahan dengan Mukhadanah
Sebagaimana pada QS. An-Nisa ayat 4, yang berbunyi:
وَءَاتُوا۟ ٱلنِّسَآءَ صَدُقَٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۚ فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَىْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيٓـًٔا مَّرِيٓـًٔا
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”
Maksud dari ayat ini adalah seorang lelaki diwajibkan membayar mahar kepada calon istrinya sebagai suatu keharusan. Hendaknya hal tersebut dilakukannya dengan senang hati. Sebagaimana seseorang memberikan hadiahnya secara suka rela, maka seseorang diharuskan memberikan mahar kepada istrinya secara senang hati pula.
Jika pihak istri dengan suka hati sesudah penyebutan mahar mengembalikan sebagian dari maskawin itu kepadanya, maka pihak suami boleh memakannya dengan senang hati dan halal.
Mukhadanah sendiri adalah perkawinan yang tak ubahnya dengan poliandri. Poliandri yaitu seorang perempuan memiliki banyak suami.
Dengan pemberian mahar lah, sebagai pembeda antara pernikahan yang sah dengan mukhadanah.
2. Sebagai Bentuk Penghormatan, Penghargaan, dan Perlindungan Terhadap Wanita
Dalam Islam, mahar merupakan hak penuh yang dimiliki oleh mempelai wanita yang tidak dapat diambil oleh keluarganya.
Hal ini berbeda dengan masa jahiliyah di mana pemberian mahar ibarat transaksi jual beli yang memposisikan wanita atau istri layaknya ‘barang’ yang ‘dibeli’ dari keluarganya.
Mahar yang diberikan oleh mempelai laki-laki langsung kepada mempelai wanita merupakan bentuk penghormatan, penghargaan, dan perlindungan yang tinggi terhadap wanita.
3. Sebagai Simbol Persetujuan dan Kerelaan
Mahar yang diberikan kepada wanita yang akan dinikahi merupakan simbol persetujuan dan kerelaan antara kedua belah pihak untuk hidup bersama sebagai pasangan suami istri dalam ikatan pernikahan yang sesuai dengan ajaran Islam.
4. Sebagai Simbol Tanggung Jawab Laki-Laki Kepada Wanita yang Dinikahi
Mahar merupakan simbol tanggung jawab dari pihak laki-laki untuk menjamin kesamaan hak dan kesejahteraan keluarga setelah pernikahan terwujud bersama wanita yang ia nikahi.
5. Sebagai Bentuk Keseriusan Laki-Laki
Pemberian mahar oleh seorang laki-laki kepada wanita, merupakan bentuk keseriusan dan cinta kasih mempelai laki-laki terhadap mempelai wanita yang akan dinikahinya. Karena itu, pemberian mahar ini harus dilakukan dengan hati yang ikhlas, tulus, dan diniatkan untuk memuliakan wanita yang akan dinikahinya.
6. Sebagai Simbol Tanggung Jawab Wanita Terhadap Mahar
Mahar merupakan hak penuh yang dimiliki oleh mempelai wanita yang tidak dapat diambil oleh keluarganya. Karena itu, tidak ada seorang pun dari pihak mempelai wanita yang berhak menghalangi mempelai wanita untuk mendapatkan mahar.
Dalam Islam, wanita memiliki hak penuh atas mahar yang diberikan.
Tidak seorangpun anggota keluarga pihak wanita yang boleh mengambil mahar tersebut kecuali atas persetujuan dan kerelaannya.
Baca juga: Wajib Tahu! Inilah Urutan Wali Nikah Serta Syaratnya dalam Syariat Islam
Ketentuan Mahar dalam Pernikahan Islam
1. Mahar Disunnahkan Mudah
Dalam suatu hadits, Rasulullah bersabda:
“Wanita yang paling besar berkahnya ialah wanita yang paling mudah (murah) maharnya.” (H.R. Ahmad, Al-Hakim dan Al-Baihaqi)
Seorang wanita berhak mendapatkan mahar dari calon suaminya.
Namun, permintaan mahar ini alangkah baiknya adalah mahar yang sederhana sesuai kesanggupan dan tidak membebani calon suami.
Sebaliknya, untuk calon suami dengan penghasilan di bawahnya, sesuaikan mahar dengan kemampuannya.
2. Memberikan Mahar yang Layak
Meskipun wanita sebaiknya meringankan maharnya, bukan berarti pihak laki-laki memberi mahar seenaknya untuk mempelai wanita tanpa dilihat terlebih dahulu kelayakan maharnya.
Sebagaimana dalam QS. An-Nisa ayat 25, Allah berfirman:
وَمَن لَّمْ يَسْتَطِعْ مِنكُمْ طَوْلًا أَن يَنكِحَ ٱلْمُحْصَنَٰتِ ٱلْمُؤْمِنَٰتِ فَمِن مَّا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُكُم مِّن فَتَيَٰتِكُمُ ٱلْمُؤْمِنَٰتِ ۚ وَٱللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَٰنِكُم ۚ بَعْضُكُم مِّنۢ بَعْضٍ ۚ فَٱنكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَءَاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ مُحْصَنَٰتٍ غَيْرَ مُسَٰفِحَٰتٍ وَلَا مُتَّخِذَٰتِ أَخْدَانٍ ۚ فَإِذَآ أُحْصِنَّ فَإِنْ أَتَيْنَ بِفَٰحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى ٱلْمُحْصَنَٰتِ مِنَ ٱلْعَذَابِ ۚ ذَٰلِكَ لِمَنْ خَشِىَ ٱلْعَنَتَ مِنكُمْ ۚ وَأَن تَصْبِرُوا۟ خَيْرٌ لَّكُمْ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Wa mal lam yastati’ mingkum taulan ay yangkihal-muhsanaatil-mu’minaati fa mimmaa malakat aimaanukum min fatayaatikumul-mu’minaat, wallaahu a’lamu bi’iimaanikum, ba’dukum mim ba’d, fangkihuhunna bi’izni ahlihinna wa aatuhunna ujurahunna bil-ma’rufi muhsanaatin gaira musaafihaatiw wa laa muttakhizaati akhdaan, fa izaa uhsinna fa in ataina bifaahisyatin fa ‘alaihinna nisfu maa ‘alal-muhsanaati minal-‘azaab, zaalika liman khasyiyal-‘anata mingkum, wa an tasbiru khairul lakum, wallaahu gafurur rahiim.
Artinya: “Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Laki-laki hendaknya memberikan mahar kepada mempelai wanita sesuai dengan keberadaan wanita tersebut. Keberadaan yang dimaksud dapat dilihat dari segi hubungan dengan aspek kemasyarakatan, adat kebudayaan, dan tingkat kematangan akalnya.
3. Batas Minimal Ukuran Mahar
Dalam suatu hadits, Rasulullah bersabda:
“Carilah (mahar) meskipun berupa cincin yang terbuat dari besi.” ( HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim)
Hadits tersebut menjelaskan batas minimal mahar, yang mana cincin besi memiliki harga tidak lebih dari 3 dirham.
Oleh karena itu, harta baik sedikit maupun banyak dapat dijadikan mahar.
Hadits lain kemudian menyebutkan bahwa memberikan kemudahan dalam soal mahar lebih diutamakan Islam.
Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya pernikahan yang paling besar berkahnya adalah pernikahan yang paling ringan maharnya.” (HR. Ahmad dan Baihaqi dari jalur ‘Aisyah)
4. Separuh Mahar Tidak Wajib Dibayar Apabila Bercerai Sebelum Melakukan Hubungan Suami Istri
Jika suami menceraikan istrinya sebelum menggaulinya atau sebelum melakukan hubungan intim suami istri, maka separuh mahar tidak wajib dibayarkan dan suami hanya berkewajiban membayar separuhnya saja.
Hal ini dijelaskan dalam QS. Al Baqarah ayat 237 yang berbunyi sebagai berikut:
وَإِن طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلَّآ أَن يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَا۟ ٱلَّذِى بِيَدِهِۦ عُقْدَةُ ٱلنِّكَاحِ ۚ وَأَن تَعْفُوٓا۟ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۚ وَلَا تَنسَوُا۟ ٱلْفَضْلَ بَيْنَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Wa in tallaqtumuhunna ming qabli an tamassuhunna wa qad faradtum lahunna fariidatan fa nisfu maa faradtum illaa ay ya’funa au ya’fuwallazii biyadihi ‘uqdatun-nikaah, wa an ta’fuu aqrabu lit-taqwaa, wa laa tansawul-fadla bainakum, innallaaha bimaa ta’maluna basiir.”
Artinya: “Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan.”
5. Ketentuan Mahar Saat Suami Meninggal Dunia
Jika suami meninggal setelah akad dan sebelum menggauli atau melakukan hubungan suami istri, maka istri berhak mewarisinya.
Istri berhak mendapatkan maharnya secara utuh, jika maharnya sudah ditentukan.
Namun, jika maharnya belum ditentukan, maka istri berhak mendapatkan mahar sebesar wanita yang selevel dengannya dan ia menjalani masa iddah sepeninggal suaminya.
Jenis Atau Macam-Macam Mahar dalam Islam
Para Fuqaha telah membagi mahar kepada dua macam, yakni Mahar Musamma dan Mahar Mitsil.
1. Mahar Musamma
Merupakan mahar yang telah jelas dan ditetapkan bentuk dan jumlahnya dalam shighat akad. Jenis mahar ini dibedakan lagi menjadi dua yaitu:
- Mahar Musamma Mu’ajjal, yakni mahar yang segera diberikan oleh calon suami kepada calon isterinya. Menyegerakan pembayaran mahar termasuk perkara yang sunnat dalam Islam.
- Mahar Musamma Ghair Mu’ajjal, yakni mahar yang telah ditetapkan bentuk dan jumlahnya, akan tetapi ditangguhkan pembayarannya.
Berkenaan dengan pembayaran mahar, maka wajib hukumnya apabila telah terjadi dukhul (berhubungan).
Para ulama bersepakat bahwa membayar mahar menjadi wajib apabila telah berkhalwat (bersepi-sepian atau berdua-duaan) dan juga telah dukhul.
Membayar mahar apabila telah terjadi dukhul adalah wajib, sehingga jika belum terbayarkan maka termasuk utang piutang.
2. Mahar Mitsil
Mahar ini merupakan mahar yang tidak disebutkan jenis jumlahnya pada waktu akad, maka kewajibannya adalah membayar mahar sebesar mahar yang diterima oleh perempuan lain dalam keluarganya.
Maksudnya adalah mahar yang diusahakan kepada mahar-mahar yang pernah diterima pendahulunya atau mahar yang diukur (sepadan) dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga terdekat, agak jauh dari tetangga sekitarnya, dengan memperhatikan status sosial, kecantikan, dan sebagainya.
Misalnya, mahar itu mengikuti maharnya saudara perempuan pengantin wanita.
Pada bahasan artikel ini dapat disimpulkan bahwa, jika mampu memberikan mahar yang mahal dan banyak tanpa mempersulit atau menyusahkan, silahkan lakukan karena itu pun tidak dilarang.
Tetapi, jika tidak mampu, jangan pula dipaksakan. Ini juga harus diperhatikan oleh pihak dari mempelai wanita, sebaiknya tidak menuntut mahar yang sekiranya sulit atau menyusahkan calon suami. Itulah mahar yang paling baik dalam Islam.
Demikianlah informasi mengenai mahar pernikahan dalam Islam yang dapat Anda ketahui.
Semoga informasi ini dapat bermanfaat. Bagi yang akan melangsungkan pernikahan semoga dilancarkan segalanya.
Jangan lewatkan informasi menarik lainnya pada situs blog Evermos.
Risma Novianti adalah SEO Analyst yang memiliki latar pendidikan Public Administration. Memiliki pengalaman kerja di bidang SEO selama 3,5 tahun. Berkemampuan aktif menganalisis data performance suatu website blog Evermos dan menganalisis content article dengan niche bisnis dan islami. Merangkap juga sebagai SEO Content Writer dengan memiliki kemampuan menulis dan mengedit yang baik sesuai dengan kaidah SEO sehingga tulisan mudah ditemukan di hasil pencarian Google.